'/> Puisi | Sampai Langit Lupa Turun Hujan - Riki Yusaeri Puisi | Sampai Langit Lupa Turun Hujan - Riki Yusaeri -->
Riki Yusaeri

Puisi | Sampai Langit Lupa Turun Hujan

 

Karena bila satu lilin tetap bernyala, gelap pun mulai resah dan gundah

Sampai Langit Lupa Turun Hujan

oleh Riki Yusaeri

(Bara dalam Kabut)

Di tanah yang katanya suci,
di mana suara mestinya jadi cahaya pagi,
aku lihat bara menyala sendiri,
aku lihat nyala, tapi tak diberi arti.

Ada kursi tinggi berlapis aksara,
menatap dunia dari jendela kata.
Namun tak turun juga tangan dari sana,
meski bumi di bawahnya retak oleh luka.

Aku tak bicara tentang emas,
tapi tentang napas yang perlahan lepas.
Tentang tangan sabar menanak luka,
dari periuk bolong dan kayu merana.

Telunjuk yang dulu kupikir penentu,
kini bagai jendela yang tertutup beku.
Tak menunjuk, tak merangkul peluh,
hanya menggantung bayang tanpa tubuh.

Wahai engkau, penjaga menara maya,
kata-katamu manis, langkahmu tiada.
Berapa nyala harus padam sia-sia,
sebelum kau sadar: yang hilang itu bukan angka, tapi rasa.


Nyala Tanpa Nama

Kulihat mereka yang tetap menabur,
meski hujan absen dan hari pun kabur.
Yang menjaga nyala meski sendiri,
tanpa pelindung, tanpa pamrih tinggi.

Tapi di balik asap pagi yang membiru,
ada tangan harum menusuk kalbu.
Menabur bayang dalam persembahan,
mencuri cahaya dengan gerakan sopan.

Ia duduk sejajar dalam perjamuan,
namun sendoknya mengambil, bukan menyumbang.
Namanya terukir di balik tirai jabatan,
tapi langkahnya hampa tanpa ladang, tanpa tangan.

Ia memanen dari jerih yang bukan miliknya,
bersembunyi di balik gelar dan rupa.
Tak berkeringat, tapi berpura-pura,
menjadi sosok tanpa jiwa.

Dan aku berdiri di batas suara,
di tengah sunyi dan bara sukma.
Ingin mengguncang langit yang pekak,
dan bertanya:
“Cukup sudah pertunjukan kata, 
mana darma, mana langkah nyata?”

Namun yang kubentur hanya kabut,
dan kabut itu menjawab lembut:
"Jangan ganggu, kami sibuk meramu,
biarlah bara itu tidur seperti waktu.”

Maka kutulis ini dengan darah yang sabar,
bukan untuk menang,
tapi untuk mengabarkan:
ada bara menunggu dalam sabar,
bukan jadi lilin tuk pesta yang liar.


Nyala Tak Butuh Izin Langit

Maka kepada kalian yang tetap menyala,
meski peluh dibayar dengan hampa,
jangan padam, tetaplah bernyawa,
walau langit terus menunda hujannya.

Kita bukan bunga menunggu musim,
kita adalah akar dalam sunyi yang intim.
Yang tumbuh meski hujan tak singgah,
yang bertahan meski tanah retak parah.

Biarkan saja mereka di menara maya,
kita yang menahan lara,
yang tahu pedih bukan drama,
yang paham waktu tak bisa menawar duka..

Tak perlu mahkota jadi cahaya,
cukup nyala kecil tak sudi menyerah.
Karena bila satu lilin tetap bernyala,
gelap pun mulai resah dan gundah.

Wahai kalian, petarung sunyi,
tegaklah walau dunia mencaci.
Sebab sejarah tak selalu ditulis suara,
tapi oleh jiwa yang tak padam meski tak bernama.

Dan bila nanti angin berubah arah,
dan mereka di kursi mulai gelisah,
biarlah mereka sadar yang membuat dunia berjalan
bukan perintah dari menara,
tapi cinta yang menolak untuk hilang.

0 Response to "Puisi | Sampai Langit Lupa Turun Hujan"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel