'/> Sebelum Internet Datang - Episode 4 - Riki Yusaeri Sebelum Internet Datang - Episode 4 - Riki Yusaeri -->
Riki Yusaeri

Sebelum Internet Datang - Episode 4

 


Selesai setoran Qur’an, biasanya ada sesi tambahan. Sambil menunggu adzan isya, kami belajar doa-doa, hafalan, dan ilmu fiqih dasar

RIKI YUSAERI - Sebelum Internet Datang - Episode 4 (Magrib Mengaji)

Masih di Tahun 2000-an, sore hari biasanya kami habiskan di sawah. Ada yang main bola, ada yang main layangan, ada juga yang sekadar ngobrol santai. Bajuku sering penuh keringat karena bermain bola, tapi begitu azan magrib terdengar dari Masjid Jami Nurul Mukmin Sumurbandung, semua permainan selesai seketika.

Sarung digulung, peci dipasang miring, lalu kami berlari ke masjid. Kadang sambil jalan cepat, kadang masih sempat saling siram air sawah, pokoknya gaya bocah di lembur.

Jika pada setiap Ramadan aku datang ke masjid pas shalat isya, maka sekarang aku datang langsung pas adzan magrib. Kadang kalau kebagian tugas adzan, aku malah datang lebih awal, bergegas dari sawah dengan sarung masih basah di ujungnya. 

Di masjid, suasananya riuh. Anak-anak SD sampai SMP duduk berjejer, membawa Al-Qur’an lusuh. Beberapa kakak SMA masih rajin datang, jadi “abang-abangan teladan” bagi kami. Setelah shalat magrib, kami mulai mengaji. Suara bacaan bergantian terdengar, ada yang lantang, ada yang belepotan tajwid, ada pula yang saking groginya malah salah buka halaman.

“Hancana tos dugi mana jang?,” kata A Supyan sambil senyum.

Itu khas beliau guru ngaji sekaligus tokoh agama yang ramah, suaranya lembut, mudah senyum. Tegurannya tidak pernah bikin malu, justru membuat kami semangat memperbaiki bacaan.

Nama aslinya Supyani, kami yang pernah berguru padanya pasti sepakat untuk mengatakan kagum. A Supyan mengajar tanpa pamrih. Tidak pernah sekalipun beliau meminta bayaran, apalagi mengeluh. Baginya, mengajar Qur’an adalah ibadah dan amanah. Siapa pun anak kampung yang datang, entah masih terbata-bata mengeja atau sudah lancar membaca, beliau terima dengan tangan terbuka. Bahkan sering kali, beliau sendiri yang memanggil anak-anak yang mulai jarang hadir.

Selesai setoran Qur’an, biasanya ada sesi tambahan. Sambil menunggu adzan isya, kami belajar doa-doa, hafalan, dan ilmu fiqih dasar. Yang ngajarin sering kali kakak tingkat yang sudah hatam. Lucunya, dulu aku cuma jadi murid yang sering ditertawakan karena hafalan suka kepleset. Tapi akhirnya, giliran masa berganti, aku pun ikut jadi tutor sebaya, ngajar adik-adik dengan gaya sok bijak padahal kadang lupa juga.

Isya tiba, kami shalat berjamaah. Setelah itu, anak-anak terbagi jalan. Sebagian besar pulang atau nongkrong di jalan sambil main polisi-polisian. Tapi ada kelompok kecil yang ikut A Supyan ke rumahnya untuk ngalogat. Aku termasuk di antaranya.

Ngalogat itu istilah di pesantren/kampung untuk kegiatan membaca kitab kuning (kitab berbahasa Arab tanpa harakat) lalu menerjemahkannya ke dalam bahasa sehari-hari (biasanya bahasa Sunda atau Jawa atau daerah lainnya).

Di rumah A Supyan, suasananya beda. Lebih tenang, lebih serius, tapi tetap hangat. Kami duduk lesehan, membuka kitab-kitab kuning seperti Safinah, Tijan, Jurumiyah, Nashoihul Ibad, sampai Sillamuttaofiq. A Supyan membacakan teks arab gundul perlahan, lalu menerjemahkannya kata per kata ke dalam bahasa Jawa dan dijelaskan dengan bahasa Sunda. Kadang beliau memberi contoh lucu biar kami paham, sampai kami ngakak bareng. Jam delapan malam biasanya baru selesai.

Kitab yang dipelajari pun bergantian sesuai waktu. Malam hari biasanya Nashoihul Ibad, kalau malam Jumat giliran Sillamuttaofiq. Sementara subuh hari, A Supyan membimbing kami dengan kitab Safinah, Tijan, dan Jurumiyah. Polanya seperti itu terus berulang, sehingga setiap waktu selalu punya warna tersendiri. Ada saatnya penuh nasihat, ada pula saatnya kami ditantang untuk memahami tata bahasa Arab.

Pulang ke rumah, aku disambut Umi. Biasanya umi menyiapkan makan malam, kadang ada obrolan ringan diselingi nasehat. Kadang kalau TV menyala, kami nonton sebentar, gambar burem, antena harus diputar dulu. Tapi rasanya nikmat, apalagi ditemani suara Umi yang tak pernah bosan mengingatkan soal sekolah dan akhlak.

Subuh, ritme itu berulang lagi. Shalat, mengaji, ngalogat kitab, lalu pulang mandi dan berangkat sekolah. Begitulah rutinitasnya. Sesekali aku memilih “ngobong” (tidak pulang ke rumah, tapi menginap di madrasah) bersama teman-teman. Tidur beralaskan tikar, bergelut rebutan bantal, dan ujung-ujungnya begadang sambil cerita hantu. Besok paginya, muka pucat karena kurang tidur, tapi semangat tetap ada.

Kalau diingat-ingat, masa itu penuh warna. Ada capek, ada malas, ada juga rasa bosan. Tapi sekarang, semua terasa indah. Dari sawah, masjid, rumah A Supyan, sampai tikar madrasah, semuanya memberi kenangan yang sama. Betapa berharganya kebersamaan, ilmu, dan bimbingan seorang guru yang sabar.

Dulu kami sering mengeluh disuruh ngaji setiap magrib. Sekarang, aku justru bersyukur pernah melewati masa itu. Karena dari situlah aku belajar bahwa hidup tak hanya soal bermain, tapi juga tentang menimba ilmu, berlatih sabar, dan saling mengingatkan dalam kebaikan.

Itulah magrib mengaji, masa yang membuat kampung kami hidup, sebelum internet datang dan mengubah cara anak-anak mengisi waktu sore.


Bersambung...



1 Response to "Sebelum Internet Datang - Episode 4"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel