'/> Si Kecil Mungil - Riki Yusaeri Si Kecil Mungil - Riki Yusaeri -->
Riki Yusaeri

Si Kecil Mungil

“Ih ieu orok mini leutik, beda jeung jang Diman”

(Ih ini bayi kecil banget, beda sama jang Diman).

“Keun nya jang, kin mah bakal nyusul leuwih gede”

(Biarin ya jang, nanti bakal nyusul lebih gede).

Itulah celetukan Teh Eli saat memandikanku yang disinggung oleh Bapak.

 

    Umi bilang, berat badanku saat bayi kurang lebih 1,5 Kilogram, beda jauh dengan berat badan bayi pada umumnya. Entah karena bungsu, atau memang karena hal lainnya. Tidak menjadi risau, orang tua sangat bersyukur karena Allah masih mempercayakan untuk mempunyai keturunan lagi yang ke 7, si kecil mungil Riki Yusaeri.

    Tahun 1995 merupakan tahun bahagia sekaligus harap-harap cemas bagi orang tuaku, sempat hampir putus asa. Umi bilang setiap 6 jam sekali tanganku mengepal keras dan mata melotot, seperti orang yang sedang menunggu ajalnya. Kebiasaan itu sering terjadi saat usia 3 sampai 6 bulan. Doa dan harapan tak henti oleh kedua orang tua, memohon pertolongan kepada Allah. Saudara bahkan tetangga pun bingung harus bagaimana, karena ikhtiar lahir pun sudah dilakukan. Pada akhirnya, hal itu pun menjadi harap-harap cemas. Berharap bisa selamat  dan sehat, namun sangat cemas sesuatu yang buruk bakal terjadi.  Segala puji bagi Allah, perlahan tapi pasti rasa cemas terkikis oleh senyum bahagia. Bulan berikutnya si Kecil Mungil menikmati masa bayinya.

    Sejak masih bayi, sering ku habiskan berada di “saung” tempat bapak dan umi bekerja mengolah Gula Kelapa. Kebetulan bapak dan umi punya sepetak tanah di “leuweung” (hutan) yang ditanami banyak pohon kelapa dan itu menjadi rezeki untuk menafkahi anak-anaknya. Jarak dari rumahpun cukup jauh, melewati satu wilayah perkampungan dan menyusuri beberapa wilayah hutan. Saat itu, bapak lebih banyak berada ditempat kerja, berangkat pagi dan pulang sore, sedangkan umi hanya sampai siang karena masih ada pekerjaan di rumah apalagi kakaku Rois yang masih sekolah SD pulangnya siang. Jadi umi bisa mengurus aku dan kakaku saat di rumah. Saat di saung, biasanya umi membantu bapak menghidangkan sarapan dan makan siang serta menyiapkan perlengkapan untuk mengolah sari buah kelapa menjadi gula. Hal itu dilakukan terus menerus sampai usiaku 6 tahun.

    Ponakanku Riyandi, anak pertama Teh Eli kelahiran 1993. Ia teman masa kecilku sekaligus orang yang menjagaku saat ada yang mengganguku. Perawakannya kecil namun besar nyalinya. Jago main bola dan lincah larinya. Sering berantem karena hal sepele namun mengalah dalam hal makanan. Makanan yang paling disukai pisang, kecuali dalam hal ini dia tidak mengalah. Sedikit cerita awal mula menyukai pisang, ia paling takut dengan obat, tak pernah mau memakan obat, alasannya pahit. Pernah sekali saat dia sakit, umi mengakali agar obat itu masuk ke perutnya dengan memasukan obat ke buah pisang, alhasil obat itu ikut tertelan dengan pisang, sejak saat itu umi tak pernah pusing jika ia tidak mau memakan obat dan ia pun jadi keseringan makan buah pisang. Alhamdulillah buah pisang tidak sulit dicari saat itu. Saat kecil bersamanya, banyak hal yang dilalui. Main bola, “ngebak” (berenang di sungai), ngebolang bersama teman yang lain sudah menjadi hal yang rutin saat sepulang sekolah (SD). Namun saat ia kelas 4 SD, diajak mamahnya pindah ke rumah suami. Suami teteh ini adalah seorang mantri (dokter di kampung) dan menjadi bapa tiri Riyandi. Walaupun Bapak tiri tetapi sangat sayang dan baik malah menjadi tulang punggung keluarga saat bapakku meninggal. Selain Riyandi, kakaku Rois juga dibawa teh Eli untuk tinggal bersama. Ku membiasakan diri saat temanku sekaligus ponakan itu tidak tinggal seatap lagi. Aku yang saat itu sudah menginjak kelas 2 SD.

    Masa kecilku penuh kasih sayang dari orang tua dan orang-orang terdekat, entah karena bungsu sehingga panggilan ujang pun melekat baik dari orang tua maupun dari kakaku, sampai saat ini.

    Masa kecilku penuh didikan, bersikap sopan, berakhlak baik sudah ditanamkan oleh kedua orangtuaku. Apalagi didikan agama, sering sekali bapakku mengajak shalat di masjid, ya walaupun saat itu hanya melihat gerakan bapak saat shalat, sepulang shalat isya biasanya umi sudah siap stand by di depan Al Quran yang di alasi bantal dengan memakai mukena untuk mengajarkanku membaca Al Quran. Hanya dengan penerangan seadanya, saat itu memakai lampu centir (mungkin sama seperti patromak, mungkin ya) umi semangat mengajarkanku membaca Al Quran, jika sudah bisa mengeja huruf arab mulai dari “alif” sampai “wasalamu” (sebelum wasalamu, huruf “ya”) baru aku diutus untuk belajar membaca Al Quran ke Guru Ngaji di masjid dekat rumah, namanya Kiai Supyan. Kiai Supyan adalah salah satu imam besar yang ada di masjid kampungku, sumurbandung. Setiap malam bada magrib memang sudah rutin anak-anak mulai dari yang belum sekolah sampai anak SMP belajar membaca Al Quran pada beliau, entah sejak kapan beliau memulai mengajarkan hal mulia itu, yang jelas sampai saat ini di tahun 2020 beliau masih semangat mengajar anak-anak dikampungku untuk bisa membaca Al Quran.

    Masa kecilku banyak hal yang dilakukan, apalagi saat usiaku 7 tahun, masa-masanya suka berpetualang dengan teman-teman. Halaman rumah tetangga (sekarang sudah dijadikan 2 bangunan rumah), sawah, sungai, kebun dan hutan dijadikan tempat bermain yang paling asik dan menghibur. Setiap tempat dijadikan permainan-permainan yang menghibur dan mempunyai pengalaman yang mengasikan. Aku takan membahas lebih jauh dan mendalam di judul ini, akan dibahas dijudul yang lain, hehe

    Intinya, rentang tahun 1995-2001 adalah Allah memberikan amanah kepada orang tuaku untuk mendidikku dan mengenalkanku pada dunia.


Baca berikutnya :

Sebelum Internet Datang

  

11 Responses to "Si Kecil Mungil"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel