PEREMPUANKU adalah Wonder Women
15 Agustus 1958, lahirlah perempuan dari pasangan Bapak
Ajang dan Ibu Irot yang rupawan. Namanya Pupun, Aku biasa memanggilnya Umi. Memang
simpel memanggilnya, tapi komplek kasih sayangnya. Sayang kepada suami, anak,
orang tua, saudara bahkan tetangga, paket komplit memang. Begitulah yang aku
rasakan.
Tinggal di kampung Sumurbandung, kampung yang punya bendungan sumur dengan 7 mata air. Airnya
jernih, tenang, adem dan sekarang jadi tempat wisata di daerah tersebut. Wisata
Sumur 7 memang belum terkenal sampai ke luar negeri, tapi setidaknya sudah
terkenal sampai ke luar kampung. Harapan Karang Taruna disana bisa bermanfaat
bagi siapa saja yang datang ke wisata tersebut. Umi tepatnya tinggal di kampung
Cibalandong, namun entah kenapa jika aku ditanyai tinggal dimana pasti
jawabannya Sumurbandung, memang lebih populer Sumurbandung.
Dulu saat Sekolah Rakyat (SR), sekarang namanya Sekolah
Dasar (SD), Umi menempuh pendidikan SR di Sukabumi, tinggal bersama Uwa. Tidak
begitu lama, Umi menamatkan sampai kelas 4 SR kemudian kembali pulang ke
Surade, kampung Sumurbandung.
Selama berhenti sekolah, umi mengenyam pendidikan di
Pesantren di wilayah Surade, disitu awal mula perkenalan Umi dengan Bapak.
Pertemuan itu semakin dekat saat nonton di Layar Tancap. Memang pada saat itu
tontonan rakyat yang sangat ramai adalah Layar Tancap. Layar Tancap adalah acara nonton film di alam terbuka dengan layar dan tiangnya ditancapkan ke dalam tanah. Pada Tahun 1970-an, Umi menikah dengan Bapak Apit kemudian dikaruniai 7
anak, 2 perempuan dan 5 laki-laki.
Umi memang menempuh pendidikan hanya sampai kelas 4 SR,
tetapi tidak menjadi kendala untuk mendidik anak-anaknya, karena yang paling
pertama ditanamkan adalah akhlak yang baik. Umi juga mampu menghitung angka
dengan baik. Termasuk hitungan tanggalpun bisa, semisal “Rabu, Rabu Kamis Jumat,
oh tanggal 16”. Apalagi uang, detail sekali, hehe
Tahun 2002, Umi bersama bapak menyekolahkanku ke SDN 4
Pasiripis Kecamatan Surade. Saat pendaftaran aku diantar Umi dengan Mang Deden
sebagai ojek setia Umi. Setiap pagi Umi selalu memandikanku, dipakaikan seragam
sekolah, diberikan bedak kepada wajahku yang jika makan gorengan akan terlihat
perbedaan wajahnya, disuapi nasi goreng dan diantarkan sampai depan dekat jalan
raya, kadang diantar juga sampai sawah. Sebagai informasi, untuk menempuh ke
Sekolah dengan berjalan kaki bisa sampai 30 menit, beda dengan jalan sawah yang
bisa lebih cepat 15 menit. Setelah aku berangkat ke sekolah, lalu Umi pergi ke
tempat Bapak bekerja untuk mengantarkan makanan siang dan membantu sedikit
kerjaan Bapak, sebelum dzuhur Umi sudah berada di rumah lagi karena aku pulang
sekolah sebelum dzuhur. Sepulang sekolah, Umi selalu menyiapkan makan siang,
gorengan, kerupuk, atau mie selalu menjadi menu utama makan siang. Umi selalu
menanyakan apa saja yang diajarkan selama di Sekolah, dulu sering ada PR dan Umi selalu membantu mengarahkan dan membimbing untuk menyelesaikan PR tersebut.
Kelas 1 SD Umi sering mengajarkanku untuk belajar membaca, sehingga kelas 1 SD
saat itu sudah bisa membaca. “Ini Budi, ini Ibu Budi”, masih terngiang suara Umi ditelingaku sampai sekarang. Sesekali, Umi mengajakku pergi ke tempat kerja Bapak apabila banyak yang harus di bawa pulang dari tempat kerja, biasanya yang
dibawa Umi adalah Gula Kelapa yang sudah dibungkus plastik sedangkan Bapak membawa kayu
bakar, alat makan dan buah kelapa, aku hanya bawa buah mangga jika ada. Itulah
aktivitas Umi sehari-hari. Namun saat aku
kelas 2 SD sesuai perintah Bapak, Umi selalu berada di rumah untuk fokus
mengurus anak-anaknya.
Tahun 2003-2005 banyak ujian untuk Umi, Bapak sering
sakit-sakitan sampai Bapak pernah jatuh dari pohon kelapa yang mengharuskan
istirahat lama di rumah. Umi sabar, Umi membantu meringankan beban keluarga
dengan bekerja sebagai kuli tanur,
ngaramet, ngoyos dan yang sebisanya Umi lakukan. Umi tak mengeluh, mengurus Bapak yang sakit,
mengurus anak-anaknya dan tentunya mengurus rumah. Hal itu juga yang
menyebabkan A Rois tak mau melanjutkan sekolahnya di MTs Pasiripis, padahal
saat itu sebentar lagi kenaikan kelas, namun dengan alasan kasian melihat Bapak
yang sakit dan Umi yang harus bekerja, A Rois berhenti sekolah saat kelas 2 MTs
padahal Umi dan Bapak berharap A Rois terus sekolah sampai lulus. Tahun 2005,
sore itu Bapak pulang dari tempat kerja dalam keadaan luka di kaki akibat
sabetan golok yang tak sengaja mengenai
kakinya. Aku ingat betul Umi menangis dan langsung mencuci kaki Bapak yang
masih berlumuran darah walau sudah dibungkus kain. Maklum setelah sembuh saat
jatuh di pohon kelapa, Bapak selalu memaksakan diri untuk pergi ke tempat
kerja, tak dirasa kalau hanya sakit kepala atau asma saja. Sejak kejadian itu, bapak tak pernah
berangkat kerja lagi karena bapak berangkat menuju syurga. Bapak meninggal hari
Jumat, 3 Ramadhan 1927 (Tahun 2005). Umi, aku, Aa, Teteh, saudara dan tetangga
semua menangis, merasa tak menyangka Bapak akan pergi meninggalkan dunia. Umi
yang berlinang air mata memeluk bapak dan hanya bisa mengatakan “Aa’.
Hari-hari telah berganti, Umi menjadi tulang punggung
keluarga. Bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Alhamdulillahnya masa-masa itu Teh Eli selalu ada meringankan kebutuhan
sehari-hari. Bersyukur Teteh diberi Suami yang baik yang selalu menyisihkan
uang untuk mertuanya.
Umi kuat, sabar dan tegar menjalani hari demi hari tanpa
suami yang amat dicintainya. Umi sayang terhadap anak-anaknya. Ingat betul saat aku
kelas 4 sampai kelas 6 SD, Umi selalu menjemputku dengan berjalan kaki dan
bertemu di pertigaan jalan yang merupakan tengah-tengah perjalanan dari rumah
ke sekolah. Saat itu, aku memang sering pulang sendiri entah karena kegiatan
tambahan di sekolah atau karena dipercaya mengunci pintu sekolah bersama teman
yang lain (2 orang), jadi harus menunggu semua siswa dan guru pulang. Kebetulan
saat kelas 5 SD, penjaga sekolahnya pensiun. Umi sering menungguku di pertigaan
itu, karena tahu kalau aku pulang sendirian. Di jalan sering bercerita apa saja
dan becanda, pernah saya pura-pura sakit kaki dan Umi langsung menggendongku.
Memang anak kurangajar, tapi itulah kasih sayang Umi, tak terhingga.
Tahun 2008, aku selesai menamatkan Sekolah Dasar.
Terpancar raut bahagia dan sedih dari Umi saat dipanggil namanya untuk naik ke
panggung memberikan hadiah kepadaku mewakili sekolah, alhamdulillah saat itu
aku Juara 2/ranking ke 2 yang dipertahankan sejak kelas 4. Umi yang terharu
memelukku, menciumku.
Masih di tahun yang sama, Umi menikah lagi. Aku ingat
betul setiap kali ada lelaki yang mengajak untuk menikah Umi selalu bilang dan
izin kepada anak-anaknya tak terkecuali aku yang saat itu masih kecil tetap
harus dapat izinku. Satu cerita yang menarik saat Umi izin kepadaku, “Jang, upami
ujang gaduh bapa deui wios? Supados aya anu tanggung jawab.” Ucap Umi mengawali
pembicaraan. Aku yang masih terbaring di tempat tidur hanya bilang “Asal akhlak
sareung kalakuanna kedah sapertos Bapak”. Umi yang dari tadi mengusap kepalaku
lalu menangis dan memelukku, cukup lama Umi menangis hingga akhirnya
berkata bahwa menikah lagi agar ada yang bertanggung jawab membiayai sekolahku,
makan sehari-hari dan ada yang bisa membetulkan atap rumah yang sering iris (bocor) saat hujan. Intinya ada kepala keluarga yang bisa menyayangi dan bertanggung
jawab. Benar saja, yang biasanya kalau lagi panen padi (punya orang lain) Umi
tak pernah mengajakku lagi membantunya untuk ngarit, ngagebuk pare, atau biasa orang Surade menyebutnya “dibuat”. Masih banyak hal
lain lagi yang pekerjaan orang tua tak melibatkanku lagi. Umi hanya berpesan
untuk fokus sekolah dan ngaji saja.
Masa SMP adalah masa mulai mengenal, mengenal banyak hal
kegiatan sekolah. Aktif di Pramuka dan OSIS. Pulang sore dan minggu ke sekolah
itu sudah menjadi kebiasaan. Umi yang awalnya heran kenapa kegiatan di
sekolahnya beda dengan teman-temannya, aku menyampaikan kegiatan apa saja di
sekolah, setelah dijelaskan Umi tak ragu untuk mengizinkan asal syaratnya tidak
lupa shalat, ngaji setiap magrib dan subuh, selalu jujur dan berbuat baik. “Emut Jang, upami Ujang teu jujur,
ngalakukeun dosa, mereun ceuk batur teh budak saha etah meni cunihin, badeur,
baong. Tah kan Umi ge kababawa. Benten upami ceuk batur teh budak saha ieu meni
bageur, sholeh, someah. Raos kakupingna ge ku Umi”.
Tahun 2010, aku dipilih oleh Pembinaku Kak Purna Irawan
untuk menjadi wakil Kecamatan Surade mengikuti kegiatan Jambore Daerah
(Pramuka) yang dilaksanakan di Bumi Perkemahan Kiarapayung, Jatinangor,
Bandung. Aku bergabung dengan teman-teman perwakilan kecamatan se-Kabupaten
Sukabumi. Nama Bandung dengan
kemegahannya tak hanya terdengar ditelinga saja, tetapi akan dijajaki dan
melihat pesona indahnya. Umi menangis, memelukku saat aku berangkat dari rumah,
doa selalu dipanjatkan oleh Umi setiap kali bepergian jauh. “Sing salamet, sing seer anu mikanyaah, sing
ditebihkeun tina balahi”. Itulah umi, doa-doanya tetap sama setiap
berangkat ke Bandung sampai aku kerja sekarang.
Tahun 2011 aku lulus dari SMP, Umi dipanggil ke panggung
untuk menerima hadiah dari Sekolah karena aku masuk 10 besar UN seangkatan. Umi memegang
tanganku, sama-sama menatap ke arah tempat duduk para orang tua, tak ada
kata-kata dari mulut Umi untukku, hanya senyuman yang mewakilinya. Aku tahu Umi
senang karena akhirnya aku bisa menamatkan Sekolah Menengah Pertama, tapi di
sisi lain Umi memikirkan akankah hal ini terulang di SMA. Aku tahu Umi
memikirkan akankah bisa membiayai saat aku belajar di SMA, karena kondisinya
aku tak memiliki Bapak sambung, Umi cerai pada tahun 2009.
“Mi, abdi hoyong sakola ka SMA”. Pintaku.
“Muhun Jang, ku Umi di dukung. Tapi, biayana jang”.
“Wios Mi, abdi emut cariosan Bapa Guru, nu penting abdi lajeung heula we
sakola, wios upami kin dikaluarkeun karena teu gaduh biaya mah, abdi kaluar we
nu penting abdi ngaraosan calik di kursi SMA. Nu penting mah ayeuna ikhtiar
heula we, masalah rezeki mah Allah anu ngatur”.
Umi memelukku, mencium keningku. “Sok upami Ujang hoyong sakola mah ku Umi di dukung, Ku Umi di
sakolakeun, leres milik rizki mah tos aya anu ngatur, Umi bakal merjuangkeun
sabisa-bisana, urang kedah yakin nya Jang, Allah mah uninga. Ujang sing kacapai
cita-citana, sing jadi jalmi, ulah siga Umi, ripuh Umi mah”.
Tahun 2011 aku masuk SMA. Selain belajar di kelas, aku
melanjutkan minatku di Ekstrakurikuler Pramuka. Pernah ditawari oleh
Pembinaku Pak Ramdan untuk tinggal di Sekolah karena tahu jarak dari rumah ke
sekolah jauh, sementara jika ada kegiatan Pramuka selalu pulang sore. “Mi abdi
ditawaran tinggal di Masjid (Sekolah) ku Pak Ramdan, saurna karunya tebih ka sakola”.
Umi berpikir, lalu berkata “Upami Ujang di sakola, umi sareung saha dibumi?
Ujang ge mereun moal ngaji deui ka A Supyan?”. Mendengar perkataan itu aku
langsung memutuskan tak jadi tinggal di Sekolah.
Tahun 2012, saat itu ada ujian MID semester. Aku tak di
kasih Kartu Ujian karena belum bayar SPP selama 3 bulan, Ibu Lia (bagian TU)
menyuruhku untuk datang besok bersama orangtuaku. Besoknya aku dan Umi datang
ke sekolah sekitar jam setengah 2. Aku tahu paginya itu Umi kuli ngaramet dulu sampai dzuhur. Uang hasil
kuli itu dipake untuk ongkos ngojek pulang pergi. Kebetulan saat itu hari
Minggu, jadi aku dan Umi bareng berangkatnya dari Rumah.
“Assalamualaikum, Bu ieu sareung Umi-na Riki Yusaeri”. Umi mengawali pembicaraan saat memasuki ruang TU.
“Waalaikumsalam, muhun Mi mangga ka lebet”. Jawab ibu Lia.
“Mi, punten Riki teh teu acan bayar SPP ti sasih Juli, janten tos 3 bulan
nunggak”. Ibu Lia
melanjutkan pembicaraan.
“Ibu punten Riki mah orangtuana mung sabelah, Riki mah tos yatim. Janten Umi
anu ngabiayaanna. Wios bu, Riki mah bade di tarik we sakolana, tos teu gaduh
biayana”.
“Aduh Umi tekenging, Riki mah bageur, Ketua OSIS. Sakedap urang nyarios
heula sareung Kesiswaan”.
Sahut bu Lia.
Tak lama kemudian,
Pak H. Jamhari (Wakasek Kurikulum) datang, wajahnya masih basah terlihat baru
beres shalat. Kebetulan untuk menuju kantor Guru pasti melewati ruang TU.
“Pak, Pak ieu Umi-na Riki”.
Bu Lia menghentikan langkah Pak H. Jamhari
“Muhun kumaha bu?”.
Tanya Pak H. Jamhari ke bu Lia
“Riki teh SPP na nunggak, teras ieu Umina bade narik Riki moal
dilajeungkeun sakolana, saurna tos teu aya biayana”. Jelas Bu Lia.
“Eh tekenging Mi, Riki mah sae di sakolana ge. Sakedap Mi abdi bade nelepon
heula”.
Setelah selesai
menelpon, Pak H. Jamhari melanjutkan pembicaraannya.
“Bu, nunggakna sabaraha sasih?” tanya Pak H. Jamhari ke Bu Lia.
“3 sasih Pak”. Jawab Bu Lia
“Mi ayeuna mh atosnya, Riki kedah sakola”. Pak H. Jamhari membuka dompetnya dan mengeluarkan uang
300ribu. Kebetulan saat itu SPP 100ribu/bulan.
“Alhamdulillah, hatur nuhun Bapak mugia bapak....”
“Tah Mi ku abdi dilunasan sadayana, Umi tekenging ngemutan biaya deui. Nu
penting Riki tiasa sakola. Umi sing sehat”. Pak H. Jamhari melunasi SPP selama satu semester dan
mencoba mengentikan tangisan Umi.
Umi menangis sejadi-jadinya, tak menyangka anaknya bisa
melanjutkan sekolah. Tak menyangka akan hal ini.
“Ya Allah Alhamdulillah, Bapak Ibu hatur nuhun bantosanna, bapa ibu sing
sehat, sing kagentosan, ditambih milik rizkina. Sakali deui hatur nuhun....
Mangga Pak, upami si Ujang bade dipiwarang naon oge wios, kadang upami Minggu
sok ka sakola wae, teu aya liburna, wios mangga Pak”. Ucap umi sambil menangis.
“Riki mah Ketua OSIS Mi, janten upami aya kegiatan sakola tah Riki nu
mimpinna, sae Riki mah Mi”.
Ucap Pak H. Jamhari.
“Alhamdulillah upami si Ujang ka ango mah Pak, haturnuhun”. Balas umi.
Akhirnya Umi pamitan dan langsung pulang. Umi titip pesan
kepadaku, “Tah Jang Allah mah Maha Uninganya, rezeki mah tos di atur ku
Allah, aya we milikna. Kade Ujang di Sakola tekenging ngacewakeun Guru, kudu
hampang birit, kudu jujur, wios jang upami Ujang diperyogikeun ku sakola mah,
Umi ikhlas. Bilih Ujang dipiwarang tinggal di Sakola, wios umi mah ikhlas, wios
umi nyalira ge, mung kade shalat sareung ngaji tekenging katingaleun”.
Tahun 2014, aku sudah kelas 3 SMA. Saat itu memasuki
masa-masa pendaftaran kuliah. Atas saran dari Bu Dian selaku Guru BK agar semua
siswa mendaftar, jika tidak punya biaya bisa mengambil jalur Bidik Misi. Bidik
Misi adalah bantuan biaya pendidikan dari pemerintah bagi lulusan SMA atau
sederajat yang memiliki potensi akademik baik tetapi ada keterbatasan ekonomi.
Setelah faham mengenai penjelasan dari Bu Dian, aku semangat melengkapi
persyaratan-persyaratannya. Mulai dari KTP orangtua, KK, Akte, Foto rumah,
penghasilan orang tua dan lain-lain aku kumpulkan. “Jang ieu teh kango naon?” tanya umi. “Disuhunkeun ku sakola”. Jawabku. Sengaja aku tak bilang untuk
persyaratan daftar kuliah, karena tak ingin Umi kepikiran, memang sudah ku
jelaskan saat kelas 2 SMA bahwa ada program bidik misi. Tapi tetap karena
banyak pengaruh tetangga bahwa yang namanya kuliah butuh banyak biaya, bisa
menghabiskan banyak sawah. Sementara Umi tidak punya uang dan sawah. Mendengar
uang ratusan ribu saja sudah geleng-geleng, apalagi yang namanya kuliah bisa
menghabiskan uang puluhan juta bahkan ratusan juta. Maka dari itu, setiap kali
Umi bertanya berkas-berkas ini untuk apa, aku hanya jawab dimintai sekolah dan
doakan saja.
Tiba saatnya pengumumanpun akan disampaikan oleh sekolah,
memang kita juga bisa mengakses websitenya untuk mengetahui, tapi karena waktu
itu ada kegiatan Pramuka, jadi belum sempat untuk membukanya. Tiba saatnya pihak Sekolah mengumumkan bahwa aku diterima di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)
jurusan Administrasi Pendidikan. Alhamdulillah senang dan haru karena harapanku
terkabul dan ini sebagai kejutan buat Umi bahwa aku diterima kuliah di UPI
jalur SNMPTN Bidikmisi.
“Mi, alhamdulillah abdi diterima kuliah di UPI”. Ucapku saat masuk ke rumah.
“Alhamdulillah..”. jawab umi sambil mendinginkan nasi
pake hihid (kipas yang terbuat dari
kulit bambu yang dianyam).
“Naha Umi biasa wae, padahal ieu teh kejutan kango umi”. Gumamku dalam hati.
Saat itu aku tak menghiraukan ekspresi Umi, mungkin Umi
sedang fokus mendinginkan nasi, yang terpenting kebahagiaan ini harus
disyukuri.
Beberapa bulan kemudian, acara pelepasan siswa dan
kenaikan kelas tiba. Semua siswa kelas 3 memakai pakaian terbaiknya di
dampingi orangtua masing-masing berkumpul untuk mendengarkan sambutan-sambutan
dan menyaksikan kreasi seni siswa. Pembawa acara memanggil Bapak Edi Yama
selaku Kepala Sekolah untuk menyampaikan sambutannya. Salah satu isi sambutannya
adalah tentang nama-nama siswa yang lolos masuk perguruan tinggi negeri baik
jalur bidik misi dan reguler. Dari sinilah Umi mendengarkan apa itu bidik misi.
Saat tiba di rumah, Umi memelukku, menciumku dan menangis
haru karena aku bisa kuliah gratis. Aku kira saat itu Umi sudah tahu, ternyata
sebelumnya Umi masih kepikiran bahwa Kuliah itu bakal banyak menghabiskan
puluhan juta. Aku hanya tersenyum dan alhamdulillah Umi sudah tahu.
Agustus 2014, aku bersama ke 3 temanku yang sama-sama
diterima di UPI berangkat ke Bandung untuk registrasi/daftar ulang. Di Bandung,
aku dan teman-teman disambut oleh Teh Rima (alumni 2013) dan A Rifaldi (alumni
2012), beliaulah yang membantu saat tiba di Bandung, mulai dari tempat tinggal
(di kosannya) dan mengantarkan ke kampus. Aku juga diantar untuk mencari kosan
untuk tinggal nanti. Saat itu persaudaraan dari alumni terhadap adik-adik
tingkatnya sangat baik dan itu turun temurun setiap ada adik tingkat yang
lulus pasti dibantu saat tiba di Bandung. Singkat cerita, aku dapat kosan namun saat itu harus ada
uang muka 1 juta. Aku menelpon Umi, namun Umi angkat tangan dalam seminggu
harus menyiapkan uang 1 juta.
Seminggu kemudian, Umi menanyakan tentang kosan yang mau
disinggahi.
“Jang ieu acis teh tos aya, bilih bade ngakos tea”. Sambil memberikan uangnya.
“Umi gaduh acis timana?”
tanyaku.
“Umi nambut ka tatangi”.
“Wios Mi, kin deui we”.
“Jang, Umi mah karunya ka Ujang”.
“Muhun Mi, kin ku abdi diwartosan upami bade dipasihkeun ka nu gaduh
kosanna”.
Aku tahu, Umi sayang kepadaku sampai minjam uang. Tapi
aku berpikir sudah sering membebani Umi, apalagi Umi sendiri, uang darimana
untuk membayarnya.
Dua hari berikutnya, ada telepon dari Teh Rima menanyakan
tentang kosan kemarin.
“Assalamualaikum, Ki kosan kemarin jadi?”
“Waalaikumsalam, engga jadi teh”.
“Syukurlah, ini Teteh dapat kabar dari Bapak Kosan,
kebetulan beliau ini Ketua DKM, sedang membutuhkan yang mau tinggal di Masjid,
tugasnya beberesih, adzan dan Imam jika tidak ada Imamnya. Kamar, lemari dan
meja belajar sudah disiapkan. Riki gausah bayar”. Jelas teh Rima.
“Alhamdulillah, hatur nuhun teh”.
“Iya ki, teteh juga ga tahu kenapa Pak Haji Edi bilangnya
ke teteh, nanti teteh kasih no teleponnya ya, ini lagi perjalanan ke kampus.
Assalamualaikum”.
Saat itu aku dan umi sedang duduk di kursi, umi
menanyakan telpon tadi. Umi memelukku dan menangis setelah mendengar
penjelasanku. “Alhamdulillah jang, doa Umi ka kabul”.
2 September 2014, awal aku masuk kuliah. Memulai
perjalanan baru dan membentuk jati diri. Hari-hariku dihabiskan untuk kuliah,
bersih-bersih masjid dan membantu anak-anak mengaji di MDA. Sepulang di MDA,
aku menghubungi Umi untuk menanyakan kabarnya.
“Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam”
“Umi damang?”
“Alhamdulillah umi damang, ujang kumaha damang?”
“Alhamdulillah abdi ge damang mi”
“Jang hapuntennya Umi teu tiasa ngintun acis kango Ujang”
“Mi, abdi nelpon teh sanes bade nyuhunkeun acis, tapi naros kabar umi. Umi
mah doakeun we”
“Muhun jang ku umi di doakeun setiap shalat ge, ujang sing sehat, sing seer
anu mikanyaah, sing ditebihkeun tina balahi. Kade shalatna jang tekenging
kakantun”.
Begitulah setiap kali menghubungi Umi.
Oktober 2018, aku lulus kuliah. Umi yang sudah tak sekuat
dulu lagi datang ke Bandung yang ke 2 kalinya untuk menghadiri acara Wisuda.
Umi diantar oleh teh Elis, kakak ke 3 ku. Aku melihat Umi sudah tak sekuat dulu
lagi, wajahnya yang sudah keriput, badannya yang mengecil, langkah kakinya mulai sempoyongan, usia Umi saat itu 60 tahun. Tapi senyumannya tak berubah.
Umi yang tadinya mau diajak foto studio esok harinya sudah tak kuat lagi ingin
pulang. Akhirnya keesokan harinya Umi langsung pulang.
“Jang, ayeuna Ujang tos damel di sakola. Umi mah hoyong nungkulan Ujang
nikah”.
“Pasti nungkulan Mi”.
“Umur mah saha anu terang Jang, panyawat umi makin karaos”.
“Ah Umi nyarios teh sok kamana karep. Hayu enjing urang meser obatna ka
apotek”.
“Jang, Umi mah sateuacan Ujang nikah, saena mah bumi dilereskeun heula
sapados teu isin ku calon Ujang”.
“Muhun Mi abdi hoyong ngalereskeun heula bumi sareung hoyong lanjut kuliah
abdi mah”.
“Muhun Jang ku Umi di doakeun, Ujang sing tiasa kuliah deui”.
“Sabaraha tahun ayeuna jang mun kuliah?”
“Dua tahun Mi, abdi mah hoyong jadi Dosen”.
“Aamiin, mudah-mudahan Jang, mugia Umi tiasa nungkulan wisuda Ujang”.
“Aamiin, pasti mi nungkulan”.
“Ayeuna mah ujang sok kejar heula cita-cita, gampil awewe mah bakal ngantri
upami ujang sukses”.
Itulah obrolan setiap kali pulang ke rumah, tidak jauh
seputar itu obrolannya.
Juni 2019, aku mengajak Umi dan Teh Elis main ke Laut di wilayah Surade. Aku
tahu Umi sangat butuh suasana baru dan butuh penyegaran karena selalu ada di
rumah berjibaku dengan kegiatannya sebagai wonder
women, apalagi penyakit Gulanya semakin menyerang. Hari itu Umi senang, Umi
melihat pemandangan yang sudah bertahun-tahun belum pernah beliau rasakan. Sore
itu cuaca bagus sekali sehingga Umi bisa melihat indahnya dunia, betapa
indahnya keagungan Tuhan.
Mei 2020, saat itu aku berada di rumah karena pekerjaan
di Bandung harus dihentikan akibat pandemi virus Covid-19. Virus Covid-19 ini
adalah jenis baru dari coronavirus yang menular ke manusia. Virus ini bisa
menyerang siapa saja tanpa memandang usia dan menyerang sistem pernapasan, infeksi paru-paru
berat hingga kematian. Seluruh dunia sedang dilanda virus yang berasal dari
China ini.
Selama
di rumah, aku manfaatkan untuk bercengkrama dan lebih dekat lagi dengan keluarga,
khususnya Umi. Aku memang jarang pulang sejak kuliah di Bandung, banyak faktor
yang menyebabkan jarang pulang, makanya aku manfaatkan untuk selalu bersama
Umi.
“Jang ieu kicimpringna”. Tandas Umi sembari membawa
toples yang berisi makanan ringan kesukaanku. Umi memang tahu dan tak pernah
lupa, setiap kali pulang selalu disuguhi makanan ini.
Saat
itu bulan Ramadhan, sungguh senang rasanya bisa kumpul bareng selama bulan Ramadhan
penuh. Umi yang saat itu sakit, masih berusaha sekuat tenaga untuk berpuasa, aku
sering menyuruh Umi untuk membatalkan puasa karena melihat kondisinya yang
lemas, kadang jalanpun tiba-tiba jadi berat, namun dengan semangatnya Umi selalu
berpuasa.
“Umi mah hoyong tamat Jang puasana”. Itulah ucapan Umi
setiap kali aku suruh membatalkan puasanya. Akupun yang masih muda merasa malu
apabila batal puasa. Alhamdulillah akhirnya lebaran tiba, Umi menang. Menang
melawan musuh-musuhnya. Sosok Perempuanku ini menjadi wonder women yang kuat, sabar, penyayang dan mampu mengalahkan
musuh-musuhnya. Aku tahu, penyakitnya semakin menyerang, namun bukan Umi
namanya jika kalah dalam perjuangan. Umi menikmati kemenangan dengan
penyakitnya.
Juni 2020, aku mendapat kabar bahwa Umi ingin ke Rumah Sakit. Kondisinya
semakin parah. Aku yang saat itu sudah 15 hari berada di Bandung langsung
pulang meminta izin kepada Bapak Asep selaku Kepala Sekolah dan Ibu Herni
selaku Bendahara Sekolah. Aku memang harus izin kepada beliau berdua, karena
beliaulah yang selama di Sekolah selalu membantu. “Ki, ieu candak ti Bapak sareung Ibu kango meser buah jang si Umi,
enggal damang kango Umi”. Ucap Bapak Kepala Sekolah.
Jam 10 malam aku sampai di Rumah. Malam itu A Rois, Teh Elis dan suaminya,
Bi Opun (adik kandung umi) dan suaminya, kemudian Bi Ipih (adik kandung
umi) sudah berada di rumah. Umi yang
terbaring lemas sudah tak bisa banyak bicara, kaki dan tangannya membesar
akibat dari penyakit Gula.
Jam 8 pagi, Bi Ipih, A Rois dan A Nurdin (suami teteh) mengantarkan Umi
langsung ke Rumah Sakit, sementara aku mengurus surat pengantar dari Puskesmas,
kemudian ke disdukcapil untuk mengambil Kartu Keluarga terbaru, alhamdulillah
Kartu Keluarga dibantu A Itong selaku ketua RW. Aku langsung bergegas menyusul ke
Rumah Sakit.
Umi yang sudah lemas, dipangku oleh A Rois, bersabar menunggu antrian
panggilan. Bibi dan mamangpun datang, tapi Teh Elis belum bisa datang karena
sedang hamil.
Awalnya Umi di ruang IGD, karena harus penanganan lebih lanjut, sore itu pun
langsung dibawa ke ruang Inap. Hari pertama sampai hari ketiga, Umi sama sekali
tak bisa makan.
“Pait, emmm...”. ucap Umi sambil mengekspresikan rasa paitnya.
“Sok ceu emam, nyaah teu ka
abi, ka si Ujang? tuh batur mah emamna seeur”. Bujuk bi Ipih kepada Umi agar mau disuapi untuk makan.
Aku dan Bi Ipih selalu bergantian untuk menyuapi Umi.
“Pait emmm paiit, enggeus ah
enggeus...”. Mohon Umi sambil
mengunyah.
“Sok sahuap deui ieu dagingna...”. Lanjut Bi Ipih yang langsung menyuapi.
Setelah makan, dokterpun datang dan memeriksa. Tensi darah dan Gulanya
tinggi. Setelah mengetahui hal itu, Umi berusaha dan memaksakan diri agar
makanannya habis.
“Jang aya A Rois?” tanya Umi
“Aya Mi, kaluar heula ngaroko”
“Hoyong dipencetan”
Aku pun langsung menghubungi A Rois, karena Umi selalu ingin dipijit oleh A
Rois. Tak lama dihubungi, A Rois datang dan langsung memijit.
Setiap waktu, aku selalu memberikan obat untuk diminum. Namun pada malam
itu, jam 12 malam Umi merasa lapar.
“Jang lapar”
“Sakedap mi, bade naros heula
ka nu jaga (suster), tiasa teu makan buah”.
Akhirnya Suster mengizinkan untuk makan buah, aku pun langsung bergegas
keluar rumah sakit mencari buah, aku tahu Umi suka sekali dengan buah Anggur
dan Pir. Dengan perjalanan yang lumayan jauh, akhirnya aku menemukan buah
Anggur dan Pir. “Mi, ieu buahna”. Ucapku
sambil memberikan buah yang sudah di cuci. Umi semangat sekali memakannya, Umi
menghabiskan 1 buah Pir dan beberapa buah Anggur. Aku senang karena Umi mulai
mendapatkan rasanya kembali.
Hari keempat dan kelima, Umi semakin melahap makanan. Umi sudah mendapatkan
rasanya kembali. Makanan yang disiapkan oleh Rumah Sakit akhirnya bisa habis.
Hari itu giliran A Rois yang menyuapi Umi, alhamdulillah semua senang karena
Umi bisa menghabiskan makanan.
Hari keenam, Kondisi Umi mulai membaik. Pipi, tangan dan kaki yang bengkak mulai
mengempis. Tensi darah sudah membaik, tinggal gulanya saja yang masih tinggi.
Hari ketujuh dan kedepalan, kondisi Umi membaik. Umi sudah
bisa berbicara banyak, wajahnya kembali bersinar, penyakit gulanya sudah mulai turun.
Akhirnya hari kesembilan Umi sudah diperbolehkan pulang. Alhamdulillah, segala
puji bagi Allah yang telah mengangkat penyakit Umi. Alhamdulillah Allah Maha
Penyayang, banyak orang yang sayang kepada Umi. Selama di Rumah Sakit, Bapak
dan Ibu di Sekolah membantu meringankan, khususnya makan kami setiap hari. Aku
yang waktu itu membawa uang pas-pasan merasa terbantu. Kebetulan makan setiap
hari beli. Setelah dua hari di rumah, aku berangkat ke Bandung untuk kembali
bekerja. Ingin rasanya lama menemani Umi di Rumah, tapi aku tahu Bapak dan Ibu
di Sekolah sangat baik membantu, karena melihat Umi yang sudah membaik akhirnya aku kembali ke Bandung. Hanya saja aku titipkan kepada Teteh agar Umi
selalu tepat waktu minum obat.
Agustus 2020, Umi dibawa lagi ke Rumah Sakit karena penyakitnya kambuh
lagi. Aku yang saat itu ingin pulang sangat dilema. Kabar dari A Rois bahwa Umi
tidak terlalu parah, Teh Elis bilang tidak apa-apa jika masih ada kerjaan. Aku
yang waktu itu sedang menyelesaikan persyaratan daftar kuliah S-2 ditambah keadaan
keuangan yang tidak mendukung untuk pulang. Aku dilema, aku bingung apalagi
waktu itu awal masuk sekolah secara daring. Akhirnya aku hanya bisa mengirimkan
uang untuk makan yang menjaga Umi di Rumah Sakit dan aku berjanji setelah
menyelesaikan persyaratan kuliah aku akan pulang. Kebetulan saat itu aku harus ketemu
bagian Yayasan yang mengurusi keuangan yang akan membantu pembiayaan kuliah.
Atas bantuan akses dari Kepala Sekolah aku bisa kuliah dan dibantu oleh
Yayasan. Tapi, prosesnya tak berjalan lancar. Aku yang sering menanyakan tindak
lanjut dari Yayasan belum bisa menemui Pimpinan bagian keuangan karena
kesibukannya, pihak kampuspun meminta uang masuk 10juta yang sudah termasuk
keperluan-keperluan lainnya selama kuliah. Aku sendiri tak memegang uang
sebesar itu, hanya pihak yayasan yang akan dan bisa membantu, tapi prosesnya
tak mudah. Aku selalu berkabar dengan A Rois untuk menanyakan kabar Umi.
Akhirnya Umi pulang setelah 3 hari di rumah sakit. Disisi lain aku senang
karena Umi pulang itu tandanya Umi sudah membaik, tapi diwaktu yang sama belum
ada kejelasan terkait biaya kuliah.
Jumat, 28 Agustus 2020, Teh Elis menghubungiku bahwa keadaan Umi membaik.
Sudah bisa duduk dan ingin mandi. Aku melihatnya melalui sambungan Video Conference dan aku senang Umi
membaik. Pikiranku yang tak tenang semejak Umi ke Rumah Sakit lagi setelah
melihat hari itu rasanya mulai tenang. Sementara daftar kuliah yang belum beres
aku tak memperdulikannya karena Umi membaik dan aku akan pulang menemui Umi.
Sabtu, 29 Agustus 2020. Pagi itu badanku merasa tak enak, pikiranku tak
fokus, aku merasa kebingungan. Tak lama kemudian suara adzan Dzuhur
berkumandang, aku langsung bergegas mengambil air wudhu dan langsung shalat.
Aku berdoa untuk kesehatan Umi, kelancaran kerjaanku dan segala urusanku.
Setelah selesai berdoa, aku kembali ke tempat meja kerjaku, HP menyala tanda
pemberitahuan masuk pesan whatsapp,
setelah aku buka ternyata itu pesan dari A Nurdin agar aku pulang sembari
mengirim gambar Umi yang sedang terbaring.
Tanpa pikir panjang, aku langsung menyiapkan perlengkapan untuk pulang. Bu
Herni yang mengetahui kabar tersebut dari Bu Elis langsung menghampiri, mencoba
menenangkan dan menyuruhku untuk makan. Aku yang saat itu makan tak bisa
merasakan rasa, pikirku tentang Umi. Terbayang wajah Umi yang sedang mengurusku
sejak kecil, mengajarkan baca Al Quran, mengajarkan baca huruf, menungguku
dipertigaan saat pulang sekolah, semua itu terbayang. Makananpun tak habis, aku
yang sudah tak kuat ingin segera pulang langsung pamit kepada semua Guru yang
ada di sekolah. Diperjalanan, sudah tak terbendung air mengalir ke pipiku,
teringat kembali wajah Umi. Aku tak sadar karena berputar-putar terus
Bandung-Cimahi. Aku pun berhenti sejenak, mencoba menenangkan diri dan berpikir
bahwa Umi baik-baik saja, bismillah aku berangkat dan mencoba fokus
mengemudikan motor. Rasanya ingin segera sampai rumah, tak mau memperdulikan
kendaraan lain, ingin motor ini melaju cepat. Tapi aku sadar, dalam keadaan
apapun harus tetap tenang, kemudikan motor dengan baik karena segala tindakan
dengan emosi tak akan benar. “Astagfirullah, astagfirullah, astagfirullah...
tenang... tenang...”. Gumamku dalam hati.
Cianjur, aku berhenti untuk menunaikan shalat ashar. Berdoa agar Umi
baik-baik saja. Kemudian selesai shalat aku menghubungi A Nurdin, aku
menanyakan kabar Umi untuk mengetahui
kondisi Umi.
Aku tak dapat
jawaban, hanya pertanyaan saja aku sudah sampai mana. Aku pun melanjutkan
perjalananku.
Magrib, aku sudah sampai Sukabumi
dan berhenti untuk menunaikan shalat magrib. Setelah shalat, aku buka whatsapp dan ada pesan masuk “A sing sabarnya, sing tawekal”. Lalu
pesan masuk datang lagi, “Mamang masih
dimana?”. Melihat kalimat-kalimat itu mataku memejam, tanganku lemas,
pikiranku melayang, hatiku hancur. Aku terbaring tak berdaya.
Sejam lamanya terbaring, aku pun melanjutkan perjalanan. Bising motor dan gelap malam saksi perjalanan malam itu. Pandangan kosong, tangan sudah tak kuat lagi memegang, asaku hancur. Teringat saat Umi main di laut, teringat saat Umi menggoreng makanan kesukaanku, teringat perjuangan Umi menahan puasa, teringat usahanya agar makanan habis saat di rumah sakit. Perjalanan akan segera sampai, pertigaan yang biasa Umi duduk menunggu itu dilalui, jalan ini aku pernah digendong Umi, di depan aku akan melewati makam, semakin mendekat, mendekat.. aku menoleh ke kiri, tak ada siapa-siapa, hanya lampu jalan saja yang menerangi makam. Sebentar lagi rumah akan terlihat, aku tak mau sampai, aku belum siap, aku tak sanggup.. berupaya tetap optimis, menarik nafas agar muncul kesiapan, kesanggupan. Dari gang, terlihat kursi-kursi hijau yang ditumpuk, berjajar dan tinggi. Istanaku itu terang benderang, tak biasanya begini. Motorpun melaju menuju tempat itu, mendekat.. dan ku menoleh ke kanan tampak bersih dan menjadi luas.. motor pun terus melaju melewati tempat itu. “A Riki a riki..”. “Mana nyai mana?”.. terdiam, menghela nafas, bismillah.. motor melaju lagi mendekati, pintu sudah terbuka, orang-orang berdiri di depan rumah. Kakiku melangkah dan tanganku meraih dinding pintu yang sudah terbuka, semuanya terdiam, ku lihat semuanya, namun tak ada. “Umi mana?”, akhirku. A Rois, Teh Elis memelukku dan tak tahu siapa lagi yang ada di dekatku.
Tak
akan terdengar lagi panggilan Ujang
Tak
akan membuat lagi kicimpring dan gorengan
Tak
akan ada lagi doa dibarengi tangisan saat berangkat ke Bandung
Tak
akan ada lagi cinta dan kasih sayangnya
Tak akan ada lagi saat rindu tinggal telpon atau pulang ke rumah
Ternyata
ini nyata
Tak
percaya, tapi harus percaya dengan takdir
Harus
bisa menerima
Harus
ikhlas dan ridho.
Ya
Allah, ampunilah dan rahmatillah, bebaskanlah, lepaskanlah kedua orang tuaku. Dan
muliaknalah tempat tinggalnya, luaskanlah jalan masuknya, bersihkanlah kedua
orangtuaku dengan air yang jernih dan sejuk, dan bersihkanlah kedua orangtuaku
dari segala kesalahan seperti baju putih yang bersih dari kotoran.
Ya
Allah gantilah tempat tinggalnya dengan tempat tinggal yang lebih baik dari
yang ditinggalkannya, dan keluarga yang lebih baik, dari yang ditinggalkannya
juga.
Ya
Allah Masukannlah kedua orangtuaku ke surga, dan lindungilah dari siksanya
kubur serta fitnahnya, dan siksa api neraka. Aamiin
Ujang, ya panggilan sayang Umi. Tak pernah selama 24 tahun ini Umi memanggilku dengan sebutan nama, selalu Ujang. Ujang dan Ujang. Ini bukti bahwa kasih sayang Umi itu tak pernah berubah, termasuk hal-hal kecil seperti nama. Sebagai anak, tentunya ingin memberikan kebahagiaan kepada orangtuanya. Rasanya, seribu kata “maaf” sudah dibalas dengan sejuta kata “dimaafkan”. Memang luar biasa. Entah seperti apalagi yang harus digambarkan rasa sayang orangtua kepada anaknya, sepertinya tak tergambarkan. Sungguh beruntung bagi anak yang orangtuanya masih lengkap. Sayangilah!
❤️😭
BalasHapusSemoga ada hikmahnya :)
HapusKeren tulisannya, disaat rasa haru senang dan sedih menjadi satu dalam tulisannya, tentang Umi yang luar biasa. Lanjutkan ya tulisannya 🙏
BalasHapusTerima kasih supportnya :)
HapusTerharu bgt nangis ini😭❤️
BalasHapusSemoga ada hikmahnya :)
HapusKehidupan dan kematian selalu berdampingan. Sekuat apapun, kita akan kembali padaNya. Yakinlah~
BalasHapusTerima kasih supportnya :)
HapusStrong woman who makes you strong, MOTHER
BalasHapusYes, this real
HapusMudah"an diberikan tempat yang lebih indah untuk alm. Umi dan alm. Bapak 🌼🌼
BalasHapusAamiin, terima kasih doannya @TULIS
BalasHapus