Sebelum Internet Datang - Episode 3
![]() |
Anak-anak berjalan menuju masjid di sore hari bulan Ramadhan, mengenakan sarung dan peci, siap melaksanakan tarawih bersama, menikmati suasana hangat dan penuh nostalgia di kampung. |
Tahun 2000-an, masa kecilku dipenuhi dengan berbagai pengalaman yang kini menjadi kenangan berharga. Salah satunya adalah tradisi bermain layang-layang saat bulan Ramadhan. Saat itu, aku masih duduk di bangku SD, dan di kampungku, sebelum internet datang. Jika sebelumnya hiburan kami dalam permainan tradisional yaitu oray-orayan, maka permainan tradisional yang digemari di Bulan Ramadhan adalah layang-layang yang masih menjadi hiburan utama bagi anak-anak hingga orang dewasa.
Setiap sore menjelang waktu berbuka puasa, sawah menjadi arena utama kami bermain layang-layang. Suasananya begitu ramai, penuh dengan tawa dan sorak-sorai. Layang-layang beradu di udara, saling menguji kekuatan benang dan keterampilan pengendalinya. Kami sering mengadakan perlombaan adu layangan, di mana layangan yang kalah akan putus dan melayang bebas di udara.
Di sinilah momen yang paling seru terjadi, berburu layangan putus. Kami yang masih anak-anak berlarian mengejar layangan yang jatuh, tak peduli harus melewati sawah yang becek, semak-semak, atau bahkan memanjat pohon. Saking serunya, ada saja yang tanpa sadar menginjak paku atau beling. Tapi anehnya, meskipun terluka, rasa antusias tak pernah pudar. Orang tua pun seakan maklum dan membiarkan kami menikmati masa kecil yang penuh petualangan ini.
Selain suara sirine tanda berbuka puasa yang menjadi tanda bahwa kami harus pulang, ada satu lagi cara yang lebih efektif untuk mengakhiri permainan yaitu ibu-ibu yang datang ke sawah mencari anak-anaknya. Mereka memanggil dengan suara lantang, memanggil dengan nada khas yang hanya bisa dilakukan seorang ibu. Bagi yang sudah dipanggil, mau tak mau harus menyerah dan pulang meskipun masih ingin bermain. Namun, terkadang ada juga yang bersembunyi sebentar, berharap ibunya pergi dulu sebelum akhirnya keluar lagi.
Keseruan ngabuburit berakhir ketika suara sirine tanda berbuka puasa berkumandang. Dengan penuh keringat dan napas tersengal, kami semua bergegas pulang untuk berbuka bersama keluarga. Biasanya, kami memulai buka puasa dengan takjil, seperti caruluk yang segar. Setelah itu, barulah kami menikmati gorengan sebagai camilan tambahan. Setelah perut sedikit terisi, kami melaksanakan shalat Magrib di rumah, kemudian melanjutkan makan besar bersama keluarga.
Setelah berbuka dan beristirahat sejenak, kami bersiap-siap untuk shalat tarawih.
Tarawih di kampungku juga tak kalah seru. Dengan mengenakan sarung dan peci, kami berbondong-bondong menuju masjid sambil membawa sebungkus mie Besto yang sudah diremas halus sebagai camilan di jalan. Minggu pertama Ramadhan, masjid penuh sesak. Tapi memasuki minggu kedua dan seterusnya, jumlah jamaah mulai berkurang.
Di masjid, ada kebiasaan yang selalu membuat kami tertawa, yaitu saat mengucapkan "Aamiin" setelah imam membaca Al-Fatihah. Anak laki-laki di masjid berlomba-lomba mengucapkannya sekeras mungkin, dan dari madrasah yang berisi jamaah perempuan, terdengar suara balasan yang tak kalah lantang. Seakan menjadi sebuah perlombaan tak resmi yang terjadi setiap malam selama Ramadhan, dan pemenangnya ditentukan siapa yang duluan selesai shalat taraweh (ini tidak dicontoh untuk niat shalat, tapi aku dulu saat kecil yang belum tau apa-apa).
Selain bermain dan tarawih, ada satu hal lagi yang khas di bulan Ramadhan, yaitu mengumpulkan tanda tangan imam. Ini adalah tugas sekolah yang harus kami penuhi, di mana kami harus mencatat kegiatan ibadah yang kami lakukan selama Ramadhan. Ada berbagai kolom yang harus diisi, seperti shalat berjamaah setiap waktu, kelancaran puasa, isi ceramah Jumat, hingga kehadiran dalam shalat tarawih. Setiap catatan itu harus ditandatangani oleh imam atau penceramah yang memberikan ceramah saat itu.
Mendapatkan tanda tangan ini sering kali menjadi petualangan tersendiri. Ada yang buru-buru menghampiri imam setelah tarawih, ada yang menunggu di depan masjid, bahkan ada yang rela datang lebih awal agar tidak kehabisan kesempatan. Beberapa imam sangat sabar menandatangani satu per satu buku catatan kami, sementara ada juga yang suka bercanda, "Kamu ini shalatnya rajin karena tugas sekolah atau karena Allah?" Kami hanya bisa nyengir mendengar pertanyaan itu.
Setelah tarawih, biasanya kami melanjutkan dengan tadarus, mengaji secara bergiliran di masjid atau madrasah. Namun, ada satu momen yang sampai sekarang masih membekas dalam ingatanku. Suatu malam, aku memutuskan untuk tidak ikut tadarus. Bukan karena malas, tapi karena ingin menemani bapak yang sedang sakit di rumah. Bapak sempat meminta agar aku tetap pergi ke masjid dan melaksanakan tadarus seperti biasa, tapi entah kenapa aku lebih memilih untuk tetap di sisinya malam itu.
Pagi harinya, tepat pukul 09.00, bapak menghembuskan napas terakhirnya. Aku merasa sangat menyesal karena tidak menuruti permintaannya untuk tetap pergi mengaji. Momen itu menjadi kenangan yang tak terlupakan, dan cerita tentang bapak akan kuceritakan lebih lanjut di kesempatan lain.
Begitulah Ramadhan di masa kecilku. Penuh kebersamaan, keceriaan, dan kenangan yang tak terlupakan. Masa di mana internet belum menguasai dunia, dan kebahagiaan begitu sederhana, hanya dengan seutas benang, selembar layangan, suara tawa bersama teman-teman di sore hari, serta perjuangan mengumpulkan tanda tangan imam demi tugas sekolah.
Bersambung...
0 Response to "Sebelum Internet Datang - Episode 3"
Posting Komentar